Ilustrasi Sepiring Nasi
Ilustrasi Sepiring Nasi

            Mentari menyambut dengan ramah pagi itu, tak ada awan mendung yang menggantung, tak ada rintik hujan seperti pagi-pagi sebelumnya. Disambut dengan sautan klakson komunitas sepeda onthel dan riuh ramai orang berolahraga menunjukan bahwa hari ini pun bernama minggu. hari ke-18 dibulan November. Ya.. ketika semua orang asik berolahraga, maka saya pun asik bergegas praktikum lapangan. Meninggalkan kampus menuju sebuah perkampungan dibantaran sungai kali code di belakang Jogja Tronik. Mulai memasuki sebuah perkampungan, gang-gang sempit mulai menyambut dan mulai memisahkan satu demi satu gerombolan pencari data. Derasnya air sungai mengalir mesra berirama , angin mulai berbisik tapi tak memberi tanda hujan akan turun rintik.

         Beberapa rumah mulai disambangi, satu, dua, dan akhirnya di dapatilah 3 rumah untuk diberi asupan pertanyaan demi pertanyaan. Lelaki tua itu, ya..lelaki tua yang ramah menyapa. Dari kejauhan sudah mulai menyapa “ ngedata opo e mba?”, suara itu samar terdengar hingga harus diulang hingga 2 kali. Saya pun sigap menjawab dan menyampaikan maksud tujuan. Ditaruhnya sepeda yang tadi bapak itu bawa, berganti pakaian lalu duduk diberanda rumahnya. Ya terlalu mewah jika saya menyebutnya beranda. Lebih tepatnya duduk tepat di  pinggir gang depan rumahnya. Karena memang bapak itu tinggal dirumah dengan ukuran 3×3 m2 . Tentunya ukuran itu hanya cukup untuk diletakan satu kasur lipat. Sedih melihatnya. Pertanyaan mulai dilontarkan dan cerita pun mulai mengalir seperti derasnya aliran air di belakang kami. Hingga pada suatu pertanyaan “dari mana pak?” bapak itu pun lalu menjawab sambil meminta maaf dan mengecilkan suaranya “dari gereja mbak”. Lantas ditunjukinya KTP yang diselipkan pada buku kecil kumpulan doa dan asmaul husna yang beliau bawa “sebenernya saya islam mbak, tapi saya orang miskin, butuh makan”. Saya mengamati KTP bapaknya, ternyata bapak itu kelahiran 1942 tapi belum menikah. Mulai bercerita tentang keluarganya, beliau mengisahkan kedua orang tuanya yang sudah meninggal dan sudah barang tentu saya langsung mengalihkan pembicaraan. Saya takut menyinggung sesuatu yang sensitif dari kehidupan bapaknya.

          Keingintahuan pun menyeruak lebih dalam, pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan kembali. “saya bantu-bantu digereja, lalu saya diberi makan, kalo orang gereja tahu saya islam pasti saya dimarahi. Kalo saya kaya pasti saya hanya memilih satu agama, malu mbak. Tapi saya orang hidup, dari pada saya mengemis mending saya bantu-bantu” ujar bapaknya. Saya pun tidak bisa berkata-kata. Di satu sisi, pilihan beliau untuk tidak mengemis sangatlah tepat, tapi disisi lain, pilihan bapak tersebut untuk ke gereja jelaslah tidak tepat. Di akhir percakapan, saya hanya berucap “semoga dilapangkan rezekinya pak, semoga selalu bersyukur dengan segala yang Allah beri”. Beliaupun tersenyum.

“ Seseorang yang (mengaku mampu) berjalan dilangit, tapi mengapa begitu sulit baginya berjalan dibumi?” (Jalaludin Rumi)

 

Liska Rahayu

Kepala Divisi Pengkajian Isu Global

EGSA Fakultas Geografi UGM

Leave a comment

Your email address will not be published.

X