Oleh Andi Abdul Manaf (Mahasiswa Fakultas Geografi UGM 2010)

Orangtua, terlebih seorang ibu, adalah orang yang paling menyayangi dan mengasihi kita. Semenjak kita berada dalam perutnya, hingga kita dewasa, kasih sayangnya tidak pernah berkurang. Ia dengan tulus tanpa pamrih, memenuhi segala kebutuhan kita, bahkan kalau perlu mengorbankan jiwanya. Di saat senang atau susah, ia senantiasa setia berada di samping kita, memberikan kasih sayangnya. Begitu besarnya kasih sayang seorang ibu, sampai-sampai kita menganggap tidak ada yang melebihi kasih sayangnya. Padahal, kita tahu dan yakin bahwa ada Dzat yang kasih sayangnya jauh lebih besar dibanding ornagtua kita. Dan harus kita akui, kita sering lupa akan hal ini.

Dalam Shahihain tertuang sebuah kisah yang menunjukkan bagaimana kasih seorang ibu yang begitu besar kepada seorang anaknya. Ia rela mengorbankan jiwanya demi kebahagiaan anaknya tercinta. Namun ternyata kasih sayang yang begitu besar itu ternyata tidak lebih besar dibanding kasih sayang yang Allah berikan.

Dikisahkan seusai Perang Hawazan, dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tawanan anak-anak dan perempuan. Nabi memperhatikan mereka satu per satu. Tampaklah seorang tawanan perempuan yang sibuk sendiri. Ia melangkah kesana kemari mencari-cari putranya, belahan jiwanya. Ia mendatangi setiap anak kecil yang sedang disusui ibunya. Ia memeriksan wajah mereka satu per satu. Hampir saja payudaranya pecah karena air susu yang tertahan.

Ia berharap sang putra ada di sisinya, ia peluk dan ia ciumi sepuas-puasnya, meskipun untuk itu ia harus mengorbankan hidupnya. Beberapa saat kemudian si ibu menemukan putranya. Melihat sang anak, seketika itu pula air matanya mengering, lalu mendekapnya ke dadanya. Tangisan anak itu membuat kasih sayangnya meluap. Ia peluk dan ciumi anak itu dengan lembut. Lalu ia rapatkan ke dadanya dan ia sodorkan air susunya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -yang penyayang dan pengasih itu- melihat si ibu. Tampaknya ibu itu telah sangat letih. Kerinduan pada putranya terasa lama ia tanggung. Derita anak dan ibu itu begitu besar. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat itu semua, beliau berpaling kepada para shahabat dan berkata, “Bagaimana menurut kalian, relakah ibu itu kalau anaknya dilemparkan ke dalam kobaran api?”

Para shahabat terkejut mendengar pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Bagaimana mungkin si ibu melempar anaknya ke dalam api. Bukankan anaknya itu adalah belahan apijiwanya? Bagaimana mungkin ia melemparkan anaknya ke dalam api, padahal ia terus menciumi, memeluk dan membasahi wajah sang anak dengan air matanya? Bagaimana mungkin ia melemparkannya ke dalam api, padahal ia adalah ibu yang penuh kasih sayang?

Mereka menjawab, “Tentu tidak, Rasulullah. Demi Allah, ibu itu pasti tidak akan rela. Dia tidak akan tega melakukannya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Nah, kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya jauh lebih besar dibanding kasih sayang ibu itu kepada anaknya.”

Ketika kita tengah dihinggapi kesulitan dan diterpa musibah, seringnya kita mengeluh dan menggerutu bahwa Allah tidak menyayangi kita. Kita lupa –atau pura-pura lupa- bahwa Allah adalah satu-satunya yang senantiasa memperhatikan kita tak luput sedetik pun, di saat kita senang maupun di kala kita susah. Kita lupa bahwa setiap nafas yang kita hirup, setiap detak jantung dalam dada, setiap kedipan mata, dan setiap kenikmatan lain yang kita rasakan dalam hidup ini, adalah bukti kasih sayang Allah yang tak terhingga. Kenikmatan yang seandainya kita ingin menghitung kenikmatan tersebut, niscaya kita tidak akan pernah mampu menghitungnya.

Kisah di atas seyogyanya menjadi renungan bagi kita, bahwa kasih sayang Allah begitu luas dan tak terhingga, jauh lebih besar dari kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

(disadur buku berjudul Fii Bathni al Huth (Di Dalam Perut Ikan Paus), karya Dr. Muhammad al ‘Arifi, Qisthi Press, dengan beberapa tambahan)

Leave a comment

Your email address will not be published.

X