Oleh : Arif Setya Basuki (PW 2014)

Beberapa saat yang lalu, seorang dosen membuka kelas dengan cara yang unik. Khas dengan gayanya yang mungkin lebih suka saya sebut “trainer”, beliau meminta agar para mahasiwanya berdiri. Tapi sayangnya ekspetasi saya terlalu tinggi, game yang beliau bawa “ternyata” membosankan bagi saya. Atau mungkin lebih tepatnya lagi, ketika saya melihat teman-teman yang lain dengan antusias memainkan game ini, saya kemudian menganggapnya “menyakitkan”.

Pesan yang beliau sampaikan setelah game tersebut adalah “Kebenaran mutlak itu tidak ada”. Cara yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut memang unik. Pertama, beliau meminta teman-teman menggenggam kedua tangan masing-masing menjadi satu. Kedua, kami diminta untuk menyedekapkan tangan. Nampaknya beliau ingin menunjukkan bahwa secara alami, kami akan memiliki perbedaan-perbedaan dalam melakukan hal-hal yang kami anggap benar.

Perumpamaan pertama menunjukkan tidak semua orang menggenggam tangan mereka dengan cara yang sama, ada yang menunjukkan jari jempol tangan kanan mereka pada bagian paling atas, ada yang sebaliknya, menunjukkan jempol tangan kiri mereka yang berada diatas. Perumpamaan kedua juga menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan, dimana terdapat mereka yang meletakkan tangan kanannya didepan, ada juga yang meletakkan tangan kiri mereka didepan.

Perumpamaan-perumpamaan tersebut adalah contoh, yang menurut dosen ini bisa diumpamakan dengan kehidupan kita sehari-hari. Sering dalam berbagai macam forum, kita akan dihadapkan dengan berbagai pendapat dari orang lain. Beliau menyampaikan bahwa seperti cara kita menggenggam kedua tangan tadi, tidak ada pendapat yang absolut benar di dunia ini kecuali bagi orang yang menyampaikan pendapat itu sendiri. Pendapat-pendapat yang ada hanyalah merupakan sebuah “klaim” yang diragukan kebenarannya.

Bagi saya, ini “menyakitkan” karena kali ini sebuah “paham” seperti ini disampaikan dengan halus kepada teman-teman yang notabene menurut saya akan menganggap semua yang disampaikan dosennya “benar” secara otomatis. Semenjak saya berkuliah di semester 5 ini, mungkin dua kali sudah hal seperti ini saya dengarkan. Saya hanya nyengir ketika pertama kali mendengar mendengar hal seperti ini dikelas. Bukan apa-apa, tapi karena saya percaya pada saat itu, saat berada di sebuah kelas besar pada waktu siang hari dengan suasana yang tidak kondusif, mahasiswa tidak akan banyak meresapi apa yang dikatakan dosennya. Namun ketika pemahaman seperti ini disampaikan pada mahasiswa S1 sains, waktu pagi hari, dengan pembawaan yang meyakinkan, bagaimana saya tidak khawatir?

Konsep kebenaran seperti ini, yang kemudian kita kenal dengan “Relativisme” merupakan hasil dari perkembangan pemikiran Post-Modern di barat. Konsep relativisme ini sendiri, dapat dengan mudah kita bayangkan pada kisah orang-orang buta yang berusaha mengidentifikasi gajah. Hasil dari kisah tersebut adalah tidak terdapatnya kesepakatan diantara orang-orang tersebut mengenai apa yang mereka identifikasi, karena ada yang merasakan gajah hanya dari kupingnya, ekornya, badannya, kakinya, dst. Hal ini kemudianlah yang sering dipakai pendukung pluralisme untuk mendukung teori bahwa tuhan semua agama itu sama. Hal ini sudah dikupas oleh bang Akmal di sini.

Barat dengan segala kegemerlapannya, teori-teori yang canggih dan kemoderennannya tetaplah berisi manusia seperti kita. Paham-paham yang datang, tentu harusnya kita harus cek dan telaah terlebih dahulu sebagai bangsa yang cerdas.

Kebenaran adalah sesuatu yang unik. Unik saya bilang karena orang yang tidak mempercayai kebenaran, akan tetap percaya pada sebuah kebenaran. Seorang atheis bagaimanapun dia menolak tuhan dengan konsep kebenaran miliknya, akan tetap percaya bahwa tuhan itu tidak ada benar adanya. Kebenaran unik karena tidak ada orang yang mampu menolaknya. Seorang relativis yang menolak kebenaran pun tak dapat menolak dan tak terasa telah meyakini pemikiran sendiri. Jikapun dosen ini benar bahwa pendapat tiap orang hanyalah klaim, maka artinya tentu pendapatnya sendiri juga merupakan klaim belaka, yang menunjukkan bahwa mungkin terdapat kebenaran mutlak disisi lain.

Kebenaran itu juga, merupakan fitrah manusia. Mungkin kita bisa meragukan banyak hal, tapi bisakah kita meragukan adanya kebenaran itu sendiri? Tanpa adanya kebenaran, bagaimana kita bisa hidup? Tentu hidup disini, sekali lagi bukan seperti perkembangan yang terjadi di barat yang hanya melihat jasad/body saja, namun hidupnya jiwa. Sesuatu yang menjadikan kita manusia tetap menjadi manusia. Tanpa adanya takaran kebenaran maka berarti jiwa kita mati, dan tidak ada ubahnya kita seperti binatang-binatang atau makhluk tanpa jiwa lainnya.

Tanpa kebenaran juga, seharusnya kita tidak perlu menjadi seorang mahasiswa sains. Seorang saintis, walaupun ditengah-tengah keraguan akan tetap berusaha untuk mencari kebenaran. Bahkan persyaratan akademis seperti yang kita lihat sekarang ada digunakan untuk menakar validitas dan reliabilitas secara ketat. Buat apa kita belajar dan melakukan penelitian jika kita menganggap pengetahuan dan kebenaran sejati tidak bisa dicapai. Apa gunanya ilmu kita selama kuliah jika kita tidak bisa mendapatkan kebenaran. Bukankah akan sia-sia mencari sesuatu yang kita yakin ketiadaannya?

Wallahu’alam.

Leave a comment

Your email address will not be published.

X